Beritakitanews.com – Ilegal Drilling merupakan permasalahan Kompleks yang dihadapi oleh pemerintah saat ini. Masalah yang terjadi bukan hanya tentang tindakan tegas dari aparat kepolisian untuk memberantas pihak – pihak yang terlibat, tetapi masalah ini sudah melibatkan perekonomian masyarakat, lapangan pekerjaan yang memadai, kerusakan lingkungan dan peran serta staekholders terkait untuk melakukan pembinaan atau memberi solusi.
Seperti di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Sumatera Selatan (Sumsel), baru – baru ini kembali viral adanya ledakan di penambangan sumur bor tua hingga memakan 3 orang korban meninggal dunia dan beberapa orang mengalami luka-luka.
Hal ini memancing banyak reaksi dan komentar dari berbagai pihak tentang masih berlangsungnya tindakan Ilegal Drilling tersebut.
Salah satunya, Kepolisian Daerah (Polda) Sumsel, pada bulan lalu telah menutup 1.000 sumur bor tua yang ada di Kabupaten Musi Banyuasin. Pada penutupan tersebut, Polda Sumsel juga mengamankan 6 orang tersangka yang terlibat dalam kasus penambangan minyak Ilegal. Bahkan dari penangkapan tersebut diduga adanya pemilik modal atau bakcing kuat yang terlibat didalamnya dan Kepolisian sedang memburu pihak – Pihak tersebut.
Landasan dari tindakan ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana Pasal 98 sebagaimana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja mengatur tentang sengaja dilampauinya baku mutu udara, baku mutu ambien, baku air, baku mutu kerusakan lingkungan hidup dapat dikenakan pidana penjara 3 sampai 10 tahun. Kemudian Pasal 109 sebagaimana telah diubah pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang persetujuan pemerintah pusat sampai terjadinya korban, gangguan kesehatan, keselamatan dan lingkungan dapat dikenakan pidana penjara 1 sampai 3 tahun.
Namun, dari penindakan dan aturan yang telah dibuat, tentunya tidak serta merta langsung dilakukan tindakan hukum. Jika ketegasan itu untuk para pemilik modal dari luar daerah atau backing kuat yang diduga mendukung Ilegal Drilling untuk memperkaya diri sendiri, tentunya ini sangatlah tepat. Tetapi bagaimana dengan masyarakat bawah yang benar – benar lemah secara ekonomi?, dimana mereka hanya memanfaatkan kekayaan alam di daerahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagaimanapun dari banyaknya ribuan sumur bor dan aktivitas penambangan lainnya, ada ratusan bahkan ribuan warga yang menggantungkan hidupnya disana. Tindakan yang dilakukan pemerintah dan Aparat Penegak Hukum muaranya haruslah untuk kepentingan masyarakat.
Urusan makan, bukanlah urusan sembarangan. Akibat kemiskinan dapat memicu tindakan yang melawan hukum seperti kriminalitas dan penyalahgunaan narkotika. Ini Bagai buah simalakama, mencari pekerjaan lain belum memadai, sedangkan melakukan penambangan minyak pun, dapat bersiko tinggi terjadinya kecelakaan di lapangan.
Pemerintah harus secepatnya hadir dalam permasalahan ini melalui SKK Migas dalam pengelolaan Minyak dan Gas baik dari Hulu sampai ke Hilir. Jika memang kekayaan minyak dan gas memadai, maka ini bisa menjadi penopang ekonomi baik di daerah maupun nasional. Namun, jika kekayaan alam hanya berupa pemanfaatan sumur – sumur tua marjinal yang hasilnya tidak memadai dalam skala besar, Pemerintah Daerah juga harus sigap mengurus masalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola kekayaan alam.
SKK Migas bisa dilibatkan dalam bentuk pelatihan kerja atau pengawasan untuk mengurangi terjadi kecelakan kerja dilapangan. Dari pengelolaan ini, kerugian pemerintah daerah dari kebocoran Migas di Muba yang ditaksir dalam sehari mencapai 4.000-5.000 barel per hari atau dalam satu hari kerugian negara mencapai Rp4,2 miliar atau per tahun mencapai Rp1,5 triliun, bisa segera diatasi. Selain itu bisa membantu pemasukan bagi ekonomi daerah yang bisa disalurkan juga kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan lain sebagainya.
Tika Putri (34), warga Desa Terusan Kecamatan Sanga Desa yang sehari – hari menggantungkan hidupnya dari memeras minyak yang meluber dari sumur bor, harus bangun pagi agar pulangnya tidak kemalaman. Karena jarak yang harus ditempuh Tika menuju ke lokasi penambangam minyak cukup terjal dan jauh, sekitar 50 KM.
Dari rumah menuju ke dermaga beruge, Tika harus mengendarai sepeda motor sejauh 20 KM. Itupun Tika harus merogoh kocek sebesar Rp 5000 untuk menyerangi sungai musi dengan perahu getek. Setelah menyeberang perjalanan kembali berlanjut menuju ke lokasi pengeboran minyak jalan yang ditempuh kalau hujan bertempur dengan becek dan berlumpur sejauh 30 KM. Tak jarang, Tika harus terjatuh dari sepeda motor karena jalanan yang licin.
“Kalau belum dapat minyak, kami belum pulang, dalam sehari bisa dapat 2 dirigen, 1 dirigen isinya sekitar 35 liter dengan upah perderigen Rp 70000. Jadi dalam sehari bisa mendapat Rp 140 ribu, dipotong ongkos minyak dan perahu serta makan, kira-kira bersih bawak uang kerumah Rp 100. 000,- sehari,”jelasnya.
Menurut Tika, aktivitas ini dilakukannya bersama ratusan teman lainnya deminuntuk membantu suami selain itu juga di Muba tidak ada pekerjaan lain yang menjanjikan. Mencari uang lewat hasil perkebunan karet dan sawit pun kurang memadai. Meskipun aktivitas penambangan ini sering terjadi kecelakan hingga memakan korban, tetapi hal ini dilakukan karena kebutuhan ekonomi.
“Dalam satu bulan terakhir sudah sering terjadi kecelakan. Ada supir meninggal dunia dan sudah ada 3 orang korban meninggal serta luka-luka. Kecelakan ini disebabkan biasanya ada minyak yang menguap atau ada gesekan dari pipa yang menimbulkan percikan api sehingga membuat sumur bor meledak,”jelasnya.
Saat ini, lanjut Tika, sudah ada 3 kali ledakan diarea penambangan ini, bahkan ada sumur bor yang apinya belum bisa dipadamkan sampai saat ini. Akibat hal tersebut, kasus sumur menjadi viral dan sekarang banyak aparat kepolisian melakukan razia. Menghadapi situasi ini, Tika hanya bisa sabar, mau memeras minyak takut ditangkap polisi, sedangkan dirinya sudah 3 minggu ini menganggur dirumah saja dan tidak bisa membantu perekonomian keluarga.
“Kami juga siap kalau memang mau diadakan pelatihan atau disediakan peralatan untuk kami bisa lebih aman dan tidak menyebabkan negara rugi, apalagi seperti saya yang mempunyai 4 orang anak yang perlu diberi makan, tentunya kami sangat mengharapkan ini. Kalau memang mau dibuatkan aturan dan dikoodinir pemerintah, jangan sampai kami hanya mendapatkan sisa-sisa saja dari hasil bumi yang menjadi tempat kami tinggal, dan kami sebagai warga masyarakat mengharapkan kamilah yang bekerja dan Putra-Putri terbaik daerah,”tandasnya.
Tika hanyalah satu dari sekian banyak warga di Indonesia khususnya Kabupaten Muba Sumsel yang menginginkan hidup lebih baik. Bangun dari pagi menyeberangi luasnya sungai musi untuk mendapat setetes dua tetes minyak, berharap bisa membawa lembaran uang untuk membantu perekonomian keluarga.
Terkait solusi inipun, secepatnya warga tidak dibingungkan dengan banyaknya regulasi tanpa solusi itu benar – benar secara nyata dan merata dinikmati masyarakat. Dari tahun-ketahun, hingga aktivitas warga mengambil minyak secara turun – temurun berlanjut menandakan belum selesainya masalah tersebut dituntaskan.
Laporan : Tim Redaksi
More Stories
SMSI Sulsel dan Bengkulu Minta Menkominfo Evaluasi Ulang Program Diseminasi KPCPEN
Muba Raih Double Winner Anugerah Pesona Indonesia 2020
Cik Ujang Sabet Award Bupati Peduli LPPL Radio dan Televisi Indonesia 2021